Categories Edukasi Rumah Sandy

Anak Bisa Membaca, Tapi Kok Tak Memahami Konteksnya?

Indonesia telah merdeka. Kibaran bendera Merah Putih tersebar di seantero Nusantara.

Kala itu, merdeka yang diusung para pejuang digabungkan dengan semangat yang menggebu. Mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi salah satu agenda utama mereka, agar generasi penerus tidak terjebak pada masalah serupa.

Pendidikan adalah tombak. Dari sini, sendi-sendi pertumbuhan manusia itu dimulai.

Namun, banyak berita tidak mengenakkan datang dari dunia pendidikan. Salah satu masalah yang cukup mencengangkan, sekaligus memprihatinkan, adalah ketidakmampuan anak dalam mencerna dan memahami bacaan (Lets Grow, 2024).

Mengapa hal itu bisa terjadi?

Dalam buku Montessari: Keajaiban Membaca tanpa Mengeja, Vidya Dwina Paramita (2020) menjelaskan ada dua sebab yang mendasarinya. Pertama, kurangnya perhatian dari orang tua, pendidik, maupun orang dewasa dalam memahami tahapan pramembaca. Kedua, keinginan orang tua atau guru agar anak mereka segera bisa membaca.

Mengetahui tahapan pramembaca akan meminimalisasi munculnya pemaksaan terhadap anak. Dalam tahapan ini, anak dikenalkan beberapa aktivitas sederhana, seperti berbincang, bernyanyi, mendengarkan dongeng, dan bermain peran. Walau terlihat sepele, aktivitas-aktivitas tersebut akan menjadi pondasi yang kokoh dalam membenuk pemahaman literasi anak.

Menurut psikolog anak Elly Risman (Net. Newsroom, 2016), waktu yang tepat bagi anak untuk mulai belajar adalah usia tujuh tahun. Pada usia ini, pusat-pusat otak sudah tersambung dengan baik.

Ketika anak diberikan beban terlalu dini, seperti harus bisa membaca, dikhawatirkan mereka akan tummbuh sebagai orang dewasa dengan pemikiran anak-anak kelak. Masa bermain, yang seharusnya mereka dapatkan, terampas begitu saja.

Selain itu, anak akan menjadi susah fokus dalam waktu yang lama, dan menurunkan minat belajar. Ini membuat mereka kesulitan memahami, menganalisis, dan memaknai bacaan.

Namun, teori tentang fase yang baik untuk mengajari anak membaca di atas tidak berbanding lurus dengan praktik dalam dunia pendidikan. Materi pelajaran kelas satu SD sudah berisi tentang bacaan-bacaan yang menggunung, yang suli dicerna untuk anak seusia mereka.

Tidak heran, jika banyak guru pendidikan anak usia dini (PAUD), TK, maupun SD, yang mengeluh. Secara tidak langsung, ini memberikan penegas bahwa ketika anak memasuki jenjang SD, mereka diharuskan sudah bisa membaca. Bahkan, ada beberapa sekolah yang menjadikannya sebagai syarat utama untuk bisa diterima.

Apa yang akhirnya dilakukan oleh guru prasekolah? Mau tidak mau, banyak yang menerabas teori tersebut. Mereka akhirnya memakan buah simalakama. Ini membuat matinya generasi terpelajar di negeri ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *