Hari ini aku terbangun agak siang. Aku lupa kalau hari ini jadwalku mengecat rumah seorang tetangga, pekerjaan yang harus kuselesaikan sebelum lebaran tiba.
Namun, sebelum sempat berangkat, adikku menelepon lewat WhatsApp. Suaranya terdengar panik.
“Bisa bantu Anna cari seseorang enggak, Kak?” tanyanya.
Aku menjawab setengah bercanda. “Tolonglah, aku ini bukan dukun. Memangnya ada apa?”
Dia terdiam sebentar, lalu mulai bercerita. Katanya, dia merasa tertipu sejumlah uang. Jumlahnya memang tak terlalu besar, tapi dari nada suaranya, jelas ini musibah yang berat baginya.
“Coba Anna ceritakan!” aku meminta padanya.
“Awalnya Anna dimasukkan ke dalam grup Telegram,” katanya. “Di sana, Anna ditawari kerja semacam afiliasi gitu. Cuma disuruh like video TikTok, eh, ternyata dapat transferan tiga ratus ribu. Setelah itu mereka tawarin Anna buat ikut program gold membership biar bisa dapat bonus lebih.”
Anna terdiam sejenak, lalu mengaku. “Anna tahu ini bodoh, tapi Anna tertarik. Jadi Anna transfer uang buat daftar gold membership. Terus mereka kasih tugas lagi, kali ini disuruh beli barang dari TikTok Mall mereka, katanya buat naikin engagement produk. Nanti uangnya dikembalikan plus bonus Anna.”
“Tapi Anna hanya bisa selesaikan pembelian yang harganya satu setengah juta. Ternyata dana Anna di website itu enggak bisa ditarik, katanya dibekukan sampai selesaiin tugas selanjutnya yang harus bayar barang lima juta lebih. Nah, Anna ngerasa curiga, Kak. Takut kena tipu.”
Aku ingin marah, tapi kutahan. Kupikir, bagaimana mungkin dia tak curiga? Pekerjaannya terlalu mudah, terlalu bagus untuk jadi kenyataan.
“Anna, video call, sekarang,” pintaku.
Dia langsung mengiyakan. Ketika panggilan tersambung, dia menyalakan kamera belakang, memperlihatkan layar laptopnya.
“Sudah kuduga,” kataku lirih. “Ini website abal-abal.”
Anna menyalakan kamera depan, tampak bingung. “Maksud Kakak?”
“Semua yang ada di situ palsu, Anna. Ini bukan kabar baik.”
Wajahnya semakin pucat. “Terus Anna harus gimana? Uang itu sebagian pinjam dari Mama!” serunya putus asa.
“Screenshot semua percakapan, bukti transfer, apa pun yang terkait. Jadikan satu file PDF. Aku mau mandi dulu, satu jam lagi aku jemput. Kita ke Polda buat laporan. Tapi, uang Mama itu tanggung jawabmu untuk mengembalikan.”
Anna hanya mengangguk, wajahnya masih murung.
Telepon kututup, lalu aku segera menelepon Ivan, temanku yang bisa diandalkan kalau menyangkut urusan serius. Kuceritakan semuanya, dan memintanya mengantar kami nanti.
“Aku lagi kosong, sih. Ya sudah nanti aku ke rumahmu,” katanya.
***
Belum sampai aku selesai mandi, bel rumah berbunyi.
“Neka! Bangun kau!” teriak Ivan dari luar.
Aku yang masih memakai handuk berjalan ke pintu, membalas. “Hei, sialan! Aku sudah bangun dari tadi! Tapi, cepat sekali kau datang?”
Terdengar suara tawa Ivan dari balik pintu.
Setelah ku bukakan pintu, Ivan masuk dengan masker hitam dan pakaian khas, yang terlihat mirip preman.
“Jadi, kau bakal berurusan lagi sama polisi, Neka?” tanyanya.
“Tentu. Tapi kali ini bukan sebagai tersangka, seperti waktu itu,” jawabku sambil tertawa.
Ivan ikut tertawa. Tapi setelah duduk di kursi rotan favoritnya, dia serius lagi. “Yakin laporan ke polisi? Masalah seperti ini biasanya tak diproses, bukan? Memangnya dirimu percaya dengan polisi?”
Aku menarik napas. “Kalau aku mempercayai polisi, berarti Tuhanku ada dua, Ivan.”
Ivan menyeringai sinis. “Lantas mengapa?”
“Aku tidak mempercayai mereka, tapi kita tidak punya pilihan lain. Setidaknya aku ingin sedikit berkontribusi menghentikan kejahatan ini sebelum makin banyak korban. Aku tahu, masih ada oknum polisi yang tidak bodoh.”
“Kepercayaanmu pada polisi itu terkadang bikin aku muak, Neka,” ujarnya datar.
“Bukan kepercayaan, Ivan. Ini keterpaksaan. Kau tahu aku. Aku tak akan repot-repot kalau masih bisa menyelesaikan ini sendiri. Tapi ini berbeda. Ini bukan masalah maling motor di Pasar Cinde tahun lalu. Ini jaringan penipuan internasional.”
Ivan mengangguk pelan. “Benar juga. Polisi tak melakukan apa pun waktu itu. Kita yang turun tangan. Mereka hanya makan gaji buta dan menahan orang yang kita tangkap.”
Aku berdiri untuk mengambil kunci mobil dan mengganti pakaian. “Maka dari itu, kita masih bisa bergerak kalau di kota sendiri. Tapi, kalau udah sejauh ini … kita tidak punya koneksi.”
Setelah beberapa waktu aku kembali lagi dan memberikan kunci mobil kepada Ivan. “Kita jemput dulu adikku di Bukit.”
Ivan berdiri sambil mengambil kunci. “Ayo!”