Categories Galeri Squidward Story

[Story] Minyak di Roda yang Berderit

Kemarin, saat mengajar mata kuliah Sistem Basis Data, Pak Saputra bercerita tentang pengalamannya menjadi karyawan. Dengan nada datar, ia berkata, “di dunia kerja itu, tidak semua manajer pantas mendapatkan gaji yang tinggi.”

Tatapannya menyapu ruangan yang nyaris kosong. Hanya kami bertiga yang hadir.

“Sebelum saya memulai kelas pada hari ini. Saya ingin Anda memahami ketika lulus nanti, bahwa selain keahlian, seberapa besar nyali Anda juga berpengaruh dengan gaji yang akan Anda dapatkan.”

Kami saling berpandangan, kebingungan.

Dia melanjutkan, “Ketika saya masih bekerja di Amerika, ada suatu istilah ‘the squeaky wheel gets the grease’. Ada yang pernah dengar?”

Kami serempat menggelengkan kepala.

“Tidak, Pak.”

“Anda tahu tentang gerigi roda? Jika dia berisik, akan menarik perhatian. Jadi perlu diberikan grease, diberikan minyak gemuk agar dia diam,” jelasnya kepada kami dengan tatapan tajam.

 “Dengan demikian, jangan heran kiranya ada orang yang mulanya menjadi kritikus, lalu tiba-tiba diam setelah diberikan jabatan atau gaji tinggi. Toh, permintaannya sudah terpenuhi.”

Aku mulai menyadari bahwa ini bukan sekadar cerita nostalgia. Ada sindiran terselubung di dalamnya, meski aku belum bisa memastikan arahnya.

“Apakah mereka tidak takut dipecat kalau terlalu banyak bicara, Pak?” tanyaku penasaran.

Dia terdiam sejenak. “Tergantung pada keahlian atau pengaruh Anda. Jika Anda ahli dan sudah menjadi karyawan kunci, tanpa Anda departemen akan lumpuh. Demikian, manajemen akan berpikir keras.”

“Bagaimana dengan pengaruh?” tanyaku lagi.

“Kalau itu … soal seberapa besar kekacauan yang dapat Anda timbulkan. Lebih baik lagi, jika kecapan Anda sampai membuat owner sakit kepala,” jawabnya setengah tertawa.

“Lantas bagaimana jika keduanya gagal dan dia dipecat?”

Dia menyeringai. “Orang yang cerdas tidak akan membuat rusuh sebelum ada yang siap menampungnya.”

Setelah itu, dia kembali mengajar tentang basis data, topik yang seharusnya dia bahas sejak awal. Namun, pikiranku masih tersangkut pada wejangan sebelumnya.

Ketika kelas usai, aku bertanya kepada Farid, temanku. “Jadi, hari ini, siapa yang disindir Pak Saputra?”

Farid mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi sepertinya ada dosen yang sedang merusuh di internal untuk naik pangkat.”

Han, yang sedari tadi diam, tampak tidak setuju. Dia berkata, “Kupikir dia menyindir demonstrasi kemarin.”

“Masuk akal,” sahutku. “Tapi menurutmu, mereka akan dapat kenaikan gaji?”

Han mendengus. “Kalau soal itu, aku juga tak tahu. Tapi setidaknya, mereka belajar bagaimana mengumpulkan suara dukungan. Siapa tahu, bisa jadi politikus. Ingat Izra? Dahulu dia sering memimpin demonstrasi, sekarang malah dekat dengan Golkar, fraksi yang dahulu dia demo.”

Aku hanya mengagguk mengerti. Farid pun demikian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *