Pagi itu, aku duduk di warung kopi kecil di dalam kampus, menikmati secangkir kopi hitam yang mulai mendingin. Sejumlah supir yang biasa berkumpul di sana bermain kartu sambil bercanda, sampai tiba-tiba sebuah mobil Avanza berplat dinas tentara berhenti agak jauh. Sejenak, suasana berubah. Mereka berhenti bermain, berbisik satu sama lain.
“Ada tentara datang. Apa urusan dia kemari?” bisik salah seorang di antara mereka.
Beberapa saat kemudian, seorang pria paruh baya berseragam loreng dengan pangkat sersan turun dari mobil. Dia melangkah masuk ke warung dan tanpa ragu duduk di sebelahku. Dengan suara mantap, dia memesan secangkir kopi kepada Bude Sumiati, pemilik warung.
Aku mencuri pandang ke arah lengannya, mencoba menerka dari kesatuan mana dia berasal. Namun, tak kutemukan petunjuk yang jelas. Satu yang pasti, dia bukan dari Angkatan Darat.
Menangkap tatapanku, ia tersenyum ramah. “Ngopi, Pak?”
“Mari, Pak,” sahutku sembari mengangkat cangkir kopiku yang tinggal setengah.
Setelah kopinya siap, Bude Sumiati meletakkan cangkir itu di hadapannya. “Monggo, Pak.”
Dia mengangguk kecil, lalu bertanya dalam bahasa Jawa, “Ibu asli mana?”
“Saya asli Pemalang, Pak. Lho, Bapak sendiri orang Jawa? Dari daerah mana?” jawab Bude Sumiati dalam bahasa yang sama.
“Saya asli Medan, Bu,” katanya tegas.
Aku, yang saat itu sedang membaca pesan dari seorang teman, tak bisa menahan tawa mendengar jawabannya. Bude Sumiati pun ikut tergelak.
“Loh, bagaimana ceritanya bisa jadi orang Medan, Pak? Nama Bapak juga Sugeng, di mana Medan-nya?” tanyaku, separuh bercanda menggunakan bahasa Jawa.
“Nah iya itu, kok namanya bisa Sugeng?” tambah Bude Sumiati.
Dia ikut tertawa. “Betul itu, Pak. Saya lahir di Medan. Medan itu bukan hanya orang Batak, Pak. Orang tua saya dari Deli. Bisa bahasa Jawa ya dari pergaulan di tentara. Teman saya banyak orang Jawa.”
Kami berdua saling menatap, lalu mengangguk mengerti.
Tak lama kemudian, teleponnya berdering. Dia berdiri, menjauh sebentar untuk menerima panggilan. Saat kembali, ekspresinya tampak sedikit kesal.
“Kita ini kalau bekerja, ya kerja. Jangan karena keluarga, jadi bisa semena-mena,” keluhnya.
“Ada masalah apa, Pak?” tanyaku, penasaran.
“Seperti biasa, orang kapal itu tidak tahu cara. Apa itu kalau orang Palembang bilang?”
“Dak biso berasan, Pak?”
Dia tersenyum kecut. “Nah, begitu kira-kira. Saya paham betul bahwa ini semi-legal. Dibilang ilegal tidak, dibilang legal juga tidak. Tapi, yah, begini lah jalan untuk hidup.”
Aku mengangguk paham. “Ternyata perkara itu ya, Pak. Saya bisa mengerti. Dulu saya juga pernah ikut om saya di Sungai Baung. Dia polisi jaga waktu daerah sana masih banyak proyek.”
Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Saya ini, Pak, sejujurnya sudah lelah jadi tentara. Tentara tidak seindah yang orang bayangkan. Tidak sebagus yang saya bayangkan dulu. Baru setahun saya di tentara, saya sudah ingin pulang. Tak tahan.”
“Lantas, kenapa Bapak tetap bertahan sampai hari ini?” tanyaku.
Dia tersenyum tipis lalu balik bertanya, “Menurut Bapak, apa hakikat hidup ini?”
Aku terdiam sejenak. “Mungkin … bekerja, Pak?” jawabku ragu.
Dia mengangguk pelan. “Dulu saya masuk tentara bukan karena cita-cita. Waktu itu saya menganggur, lalu dibuka pendaftaran tentara. Saya ikut dan lolos. Waktu saya ceritakan ke orang tua saya, mereka bahagia sekali. Sejak saat itu, saya sadar, hidup ini bagi saya adalah untuk membahagiakan mereka.”
Dia menyeruput kopinya, lalu mengeluarkan sebungkus rokok.
“Merokok, Pak?” tawarnya.
“Boleh. Izin, Pak,” sahutku, mengambil sebatang dan menyalakannya. Aku menghisapnya dalam-dalam, lalu berkomentar, “Rasanya seperti Surya ya, Pak.”
Dia tertawa. “Tanpa cukai ini, Pak. Satu slop cuma seratus ribu.”
Aku terkekeh. “Wah, murah, Pak.”
“Murah, tapi tak murahan. Itu saya punya teman, kalau berkumpul keluar semua merek rokok. Esse, Sampoerna, macam-macam. Rokok saya ini, tak pernah ada yang mau. Ada pernah junior saya coba, langsung dilepeh.
“Dia bilang, ‘Manis kali rokok kau, Bang.’ Begitulah anak sekarang, banyak pilih-pilih. Saya orangnya tak pilih-pilih, kerja juga begitu. Bertanam, berdagang, apapun saya lakukan, Pak.
“Kalau hanya andalkan gaji tentara, matilah anak-istri saya. Pangkat tinggi mayor, kolonel begitu enak, tinggal petantang-petenteng. Kita? Yang kerja keras, justru yang dipijak.”
Aku hanya bisa mengangguk, memahami getir yang dia rasakan.
“Dulu saya sampai tiga kali kabur, tiga kali juga dijemput,” lanjutnya.
“Polisi Militer, Pak?” tanyaku.
“Bukan, intelijen, Pak. Pertama kali saya kabur, saya pulang ke rumah orang tua. Saya bilang mau berhenti. Bapak saya cuma menatap saya dan berkata, ‘Siapa yang suruh kamu masuk tentara? Kalau tak bisa selesaikan yang kamu mulai, jangan panggil aku bapakmu lagi’.”
“Saat itu saya sadar, Pak. Ini keputusan saya sendiri. Kalau saya berhenti, saya mengecewakan orang tua. Jadi, saya lanjutkan. Meski pernah kabur lagi setelahnya.”
Aku menghela napas, merasa berat mendengar kisahnya. “Lalu, terakhir Bapak kabur ke mana?”
“Terakhir saya dicari di Plaju. Waktu itu saya dengar ada yang cari saya mau menagih utang. Saya pikir, ah, pasti orang halus lagi. Memang benar, intel. Saya ini, Pak, sudah hafal cara mereka. Mereka bergerak halus sekali. Hanya orang tertentu yang bisa tahu kalau mereka bukan orang biasa. Saya termasuk.”
Aku terkesima. “Wah, luar biasa, Pak. Bisa membedakan mereka dari orang biasa. Saya pasti tak akan tahu.”
Dia tersenyum getir. “Kami sudah bertahun-tahun di lapangan, Pak. Jadi sudah paham betul. Tapi kami ini tak bisa berkutik. Kalau pangkat tinggi salah, pasti ada saja alasan agar mereka tetap benar.
“Kami yang pangkat rendah? Salah tetap salah. Benar pun tetap salah. Itulah kenapa saya bilang ke adik dan anak saya, kalau bisa jangan jadi tentara. Saya bayari sekolah mereka, biar mereka bisa hidup lebih baik dari saya.”
Aku termenung sejenak, merenungi setiap kata yang diucapkannya.
“Boleh tanya, Pak? Bapak ada urusan apa kemari? Agak jarang tentara datang kemari, mungkin ada yang bisa ku bantu?” tanyaku akhirnya.
“Ada urusan di Fasilkom. Sekalian menemui anak saya di Fakultas Ekonomi. Yah, saya harap dia kelak bisa memahami teori ekonomi dan memperbaiki negara ini.”
Ketika aku hendak melanjutkan percakapan, ponselnya berdering lagi. Dia bergegas berpamitan, lalu pergi mengarah gedung Fasilkom.
Aku pun duduk kembali, menatap cangkir kopi yang kini kosong, sambil merenungkan betapa dalamnya kekecewaan yang dia pendam. Sebuah kisah getir tentang ketidakadilan, harapan, dan pilihan yang tak berpihak kepada mereka yang berada di bawah.