Sebulan yang lalu, saat aku berjalan bersama Ivan di taman kota setelah mengurus pajak di kantor samsat Kayuagung, seorang lelaki mendekat. Aku langsung mengenalinya. Dia adalah Tom, sosok yang pernah akrab denganku sewaktu masih di bangku SMA.
“Neka, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Lama kita tak berjumpa,” sapanya dengan nada hangat, tetapi menyiratkan kenangan lama.
“Tom, ya? Rasanya sudah lama tak berjumpa,” jawabku, sambil tersenyum tipis.
Matanya sempat melebar tak percaya. “Aku tak percaya kau masih mengingatku.”
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum berkata. “Tentu aku ingat semuanya. Kau tak mungkin ku lupakan Tom. Apakah dirimu masih mengingat apa yang dahulu pernah ku katakan padamu sebelum perpisahan kita?”
Tom terdiam, seolah berusaha mengingat, kemudian mengangguk pelan.
“Tom, lima tahun telah berlalu. Selama lima tahun itu pot keramik yang pecah karena ulahmu, kini sudah kembali utuh, tapi kini ia cacat dan meninggalkan bekas perbaikan,” kataku tegas.
Tom tampak ingin berkata, tetapi akhirnya ia hanya terdiam.
“Jika ada yang ingin kau katakan, silahkan, Tom. Aku akan mendengarkan,” lanjutku.
Dengan nada lirih, Tom akhirnya bersuara. “Aku minta maaf atas masa lalu. Aku masih ingin berteman denganmu, Neka. Namun, sepertinya mustahil. Kau sendiri belum memaafkanku setelah bertahun-tahun ini.”
Aku pun mengingat kembali cerita lama antara diriku dan Tom.
“Ingatkah kau, dahulu ada seorang lelaki penyendiri yang kerap dihajar oleh basis lokal di sekolah, hingga suatu hari dia ditolong oleh seorang lelaki? Setahun kemudian, terdengar kabar bahwa lelaki itu bersama teman-temannya diserang hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Ironisnya, pelakunya adalah lelaki penyendiri yang pernah ditolongnya dahulu.”
Aku berhenti sejenak, membiarkan kenangan itu mengalir. “Lelaki penyendiri itu kemudian diberikan pada pilihan: melenyapkan dirinya atau dilenyapkan. Dia memilih untuk melenyapkan dirinya sendiri, pindah ke kota lain, berjanji untuk tidak kembali. Namun, lihatlah dirinya hari ini.”
“Kami semua tahu cerita itu, Tom. Kami bahkan bersumpah untuk menggantungmu jika kau berani kembali menampakkan diri. Setelah semua yang terjadi, aku tak mempercayaimu lagi, Tom,” kataku dingin.
Dengan perlahan, Tom mengangkat kepalanya dan menatapku. “Baiklah, jika memang begitu. Namun, izinkan aku menyerahkan sesuatu sebagai tanda penyesalan,” ujarnya sambil mengeluarkan sekotak kecil coklat. “Selamat tinggal, Neka.”
Aku memandangi kotak pembungkus coklat itu, sementara Tom berjalan menjauh, perlahan menghilang di antara keramaian.
Ivan, yang selama ini terdiam, akhirnya bertanya, “Sejak kapan dia memperhatikan kita?”
“Entahlah. Sifatnya memang begitu sejak dahulu,” ujarku sambil membuka bungkus coklat yang diberikan Tom.
“Lantas apa yang terjadi lima tahun yang lalu?” tanya Ivan penasaran.
“Karena Kak Nero menolongnya, kami berkonflik dengan basis lokal di sana. Namun, kami berusaha menghindari keributan di kampung orang. Hanya saja, suatu hari Tom yang merasa dilindungi mengacau mereka. Begitulah kisahnya,” jawabku.
Ivan tampak ingin bertanya lebih jauh, tetapi akhirnya mengalihkan pembicaraan untuk mencari rekomendasi tempat makan sebelum kami kembali ke Palembang.